Pandemi, Anak Telantar dan Kewajiban Pemerintah dari Perspektif Hukum Indonesia
Oktavani Harmantyas Putri
Sebagaimana kita ketahui, anak merupakan harapan bangsa yang wajib dipelihara oleh negara serta merupakan amanah besar yang potensi dan cita-citanya perlu diperjuangkan demi menjaga harkat dan martabat Indonesia. Kewajiban terbesar untuk merawat dan membesarkan anak ada pada orang tua atau wali. Namun, apabila ada anak-anak yang hidup “normal” dengan keluarga yang lengkap, ada pula anak yang telantar. Pengertian anak telantar itu sendiri merupakan anak yang berusia 5–18 tahun yang kebutuhan rohani maupun jasmaninya tidak dapat terpenuhi karena sebab tertentu (misalnya karena kemungkinan orang tua/wali sakit, meninggal, keluarga harmonis, tidak ada pengasuh)
Ada banyak faktor penyebab mengapa anak menjadi telantar, yakni faktor keluarga meninggal, lingkungan masyarakat yang kurang kritis, krisis sosial, politik, ekonomi, atau kelahiran di luar nikah. Di masa pandemi, jumlah anak terlantar meningkat lantaran ditinggal oleh orang tuanya akibat penyakit Covid-19 maupun sebab lain. Agustus 2021, Kementerian Sosial mencatat adanya 11.045 anak yang kehilangan satu atau dua orang tuanya semasa pandemi. Perkiraan itu dikumpulkan terakhir pada Juli 2021 dengan melihat jumlah kematian warga Indonesia yang berusia antara 19–45 tahun. Selain itu, peningkatan jumlah perceraian juga turut menjadi penyumbang angka potensi anak telantar.
Apabila orang tua, wali atau keluarga tidak mampu merawat anak karena berbagai faktor, maka anak tersebut menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan mereka. Pada dasarnya hal ini telah diatur dalam Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan “Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh Negara.” Hal ini mengandung arti bahwa pemerintah memiliki suatu tanggung jawab dalam perlindungan, pemeliharaan, dan pembinaan untuk seluruh anak Indonesia termasuk anak telantar. Hal tersebut juga dijelaskan dalam Pasal 28D UUD 1945 Pasal 2 yang menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” termasuk didalamnya anak terlantar.
Indonesia secara khusus telah memiliki suatu aturan hukum untuk melindungi anak, yakni pada Undang-Undang №35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mendorong suatu dinamika kebijakan baru dalam bidang perlindungan dan kesejahteraan anak.Di dalam undang-undang tersebut terdapat peraturan dimana negara berkewajiban bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik mental (Pasal 21). Ditambahkan pula kewajiban bertanggung jawab memberikan dukungan sarana, prasarana dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22)
Anak-anak, khususnya anak telantar harusnya dilindungi dan dijamin hak-haknya seperti anak pada umumnya. Hal ini secara umum merupakan hak sipil dan kemerdekaan anak (civil and rights freedoms) dimana anak memiliki hak atas :
1. Lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (Family environment and alternative care)
2. Kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare)
3. Pendidikan, rekreasi, dan budaya (education, leisure, and culture activities)
4. Perlindungan Khusus (special protection)[1]
Menurut World Bank, efek pandemi menyebabkan 5,5–8 juta orang miskin baru. Hal ini membuka peluang untuk potensi meningkatnya jumlah anak telantar yang ada di Indonesia. Dalam hal ini perlu peran aktif seluruh pihak, baik masyarakat maupun pemerintah. Banyaknya orang tua meninggal mengakibatkan lumpuhnya layanan sosial karena kelebihan kapasitas memerlukan berbagai solusi, salah satunya yakni pengasuhan alternatif. Dalam hal ini pemerintah dapat menyusun rencana kedaruratan yang terhubung dengan layanan dan tokoh masyarakat. Selain itu, pemerintah harus memiliki suatu kebijakan yang jelas dan pejabat setempat wajib menyediakan Prosedur dan Operasi Standar untuk menangani anak-anak yang tidak memiliki pendamping. Pemerintah dapat memanfaatkan teknologi untuk berkoordinasi dalam hal ini. Pekerja layanan sosial dapat memikirkan cara-cara baru untuk menangani krisis ini.
Selain itu, hal-hal yang dapat kita lakukan untuk melindungi anak telantar yakni menerima keberadaan mereka, jangan menganggap mereka sebagai seorang ‘sampah masyarakat’, selain itu Polisi/Satpol PP/Petugas Penjangkauan juga harus diarahkan afar memastikan anak telantar tidak ditangkap, namun dibina dan diberi pengasuhan dan penyaluran yang baik. Dengan bersinergi dan bahu-membahu mengatasi suatu krisis ini, maka semua pihak dapat memiliki peran dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak telantar agar mereka tetap bisa tumbuh seperti pada umumnya.
Daftar Pustaka
Sandi, Irwan (2015) Implementasi Kebijakan Perlindungan Anak Telantar Pada Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Katelogis, Volume 4 Nomor 5, Mei 2016 hlm 150–160
Pusat Penyuluhan Sosial (2021). Perlindungan Anak Jalanan di Era Pandemi. Diakses dari https://puspensos.kemensos.go.id/perlindungan-anak-jalanan-di-era-pandemi pada 10 Oktober 2021
Suwarta, Thomas Harming (2021) Perlu Upaya Ekstra Perlindungan Anak Pada Masa Pandemi. Diakses dari https://mediaindonesia.com/humaniora/420583/perlu-upaya-ekstra-perlindungan-anak-pada-masa-pandemi pada 10 Oktober 2021
UNICEF (2021), Perlindungan Anak Selama Pandemi Covid-19. Diakses dari https://resourcecentre.savethechildren.net/node/17330/pdf/covid-19_tn_indonesian_final_version.pdf pada 10 Oktober 2021